Sepenggal Kisah di Merbabu


Benar kata orang-orang, naik gunung itu candu. Seperti ada zat nikotin yang menyebar di sel tubuh dan membuatku ketagihan untuk menjejaki ketinggian-ketinggian yang ada di Indonesia. Walaupun naik gunung itu melelahkan, bikin capek, itu semua tak jadi masalah karena disana akan mendapati pemandangan yang tak jemu untuk mata memandang. Karena katanya, semakin tinggi kamu mendaki, kamu akan mendapat pemandangan yang luar biasa indah.

            Tujuan pendakian ku kali ini adalah Gunung Merbabu. Dengan ketinggian 3142mdpl, aku ingin menuntaskan dahagaku akan petualangan. 10 November 2014 kami memilih hari itu. Tepat saat merayakan hari pahlawan. Kami pun turut berjuang melawan segala ego untuk dibabat habis saat pendakian. Para pejuang yang menemaniku mendaki adalah Jupe, Blue, Cepuh, Asih, Nova, Anggoro, Erwan, Huda, Sabilal dan Restu. Kami bersebelas berangkat meninggalkan zona nyaman kami untuk menuju beskem pendakian Gunung Merbabu via selo menggunakan motor. Kami berangkat saat malam hari, biar sampainya beskem kami langsung tertidur karena perjalanan sesungguhnya akan dilaksanakan saat  keesokan hari.

            11 November 2014, udara dingin menyelimuti kaki Gunung Merbabu. Langit membiru dengan hiasan awan beraneka bentuk. Beskem ini ramai oleh pendaki dan peralatan yang mereka bawa. Semalaman kami berkutat dengan hawa dingin yang menusuk melalui celah jaket.

            Sebelum pendakian dimulai, tak lupa kami mengisi amunisi untuk perut. Kami pesan makanan di beskem. Perlu waktu lama untuk makanan sampai di tangan, antri lama men! Pendaki yang memesan sarapan pun banyak. Pendaki dari berbagai daerah akan melakukan perjalanan pagi ini. setelah perut terisi cukup, kami pun memulai perjalanan.

            Kami melewati perkebunan sawi, bawang dll. Bau pupuk kandang menyeruak melalui lubang hidung. Kami terus berjalan melewati tanjakan sampai akhirnya kami melewati gapura bertuliskan “Jalur Pendakian Selo”, aroma petualangan makin kental dan ragaku tak sabar untuk menikmati setapak demi setapak kakiku menghentak. 



            Jalur ini diselimuti oleh debu vulkanik bekas meletusnya merapi, secara jalur ini tepat di depan gunung merapi. debu berhamburan dikala derap kaki melangkah. Siap-siap masker sebagai pelindung akan debu yang seperti asap, apalagi kalau berpas-pasan sama pendaki yang turun gunung dengan berlari. Debu menyebar dimana-mana, bagaikan asap yang muncul disepanjang jalan, menghadang pandangan mata dan bikin sesak hidung. Debu vulkanik di merbabu ini cukup tebal, jadi untuk pijakan kaki gak licin-licin amat.

            Kami melewati konservasi hutan. Pohon-pohon menjulang tinggi menghadap langit, mengademkan setiap hati yang panas dan menyejukkan badan yang mulai gerah. Suara-suara burung pagi bersahut-sahutan, menjadi musik pengantar perjalanan kami. Suara-suara monyet yang tak terlihat batang hidungnya pun menambah rame suasana. Masih di awal, tanjakan belum terlalu ekstrim. Masih banyak bonus dataran panjang, namun sesekali ada tanjakan.

            Kami terus berjalan, sesekali berhenti untuk mengelap peluh, menyenderkan lelah dan meluruskan kaki. Canda tawa juga menambah keceriaan perjalanan hati ini. tanjakan dan turunan sering kami lewati. Debu-debu pun sudah akrab dengan kaki kami, menempel sehingga merubah warna kaki kami yang hanya pakai sandal tanpa kaos kaki.

            Sampai pos satu kami manfaatkan untuk istirahat sejenak. Kami mengabadikan momen. Di pos ini pemandangan masih biasa saja. kami ngobrol apa saja sampai kami tak sadar ternyata kami sudah terlalu lama sendiri, eh maksudnya terlalu lama istirahat.. erwan aja sampai ketiduran. Ketika semua udah siap untuk mengahadapi tantangan selanjutnya, kami bergegas beranjak dari kenyaman ini. jalan masih panjang dan waktu tak pernah berhenti berdetak.

            Debu-debu yang banyak ini selalu menjadi keluhan. Tak hanya itu saja, beban berat yang dipikul serta tanjakan yang terjal sedikit memberatkan. Sementara, jalanan masih di dominasi hutan belantara.

            Perjalanan yang ditempuh berjam-jam lamanya, akhirnya membawa kami ke suatu tanah lapang. Hamparan yang sangat luuas banget menyuguhkan keindahan gunung merapi didepannya. Tidak seperti jalan sebelumnya yang terdiri dari pohon-pohon menjulang, di tanah lapang ini hanya hamparan rumput dan tanah kering. Pos 4 mereka menyebutnya. Kami istirahat sejenak untuk melepas lelah, foto-foto dengan pemandangan yang tak bisa didapat di dataran rendah. Gunung merapi gagah menatap cakrawala dikeliling oleh selir-selir awan yang melingkari puncaknya. mataku menerawang jauh menatap sang merapi, mengingat perjalanan hati yang pernah ku lakukan beberapa bulan yang lalu. Perjuangan yang tak main-main untuk sampai ke puncaknya, menjejakkan kaki untuk berada diatas awan dengan trek yang gak gampang. Ah, merapi.. duh jadi baper.

            Beberapa rekan menginginkan untuk ngecamp di hamparan ini saja. katanya dia sudah lelah, sudah malas untuk melanjutkan perjalanan karena melihat trek selanjutnya yang amazing! Tanjakan 60 derajat sudutnya, tinggi sekali dan berdebu. Kami melihat beberapa pendaki yang turun, memang sedikit kesusahan karena menyeramkan. Dan beberapa pendaki yang mencoba naik pun demikian. Memang untuk yang satu ini, aku akui treknya gak main-main. Perlu konsentrasi dan fokus yang tepat, salah dikit bisa kepleset apalagi dengan butiran-butiran debu yang melapisi tanjakan demi tanjakan.


            Sayang sekali perjalanan yang susah payah ini kalau  hanya diakhiri dengan ngecamp disini. Beberapa dari kami ingin melanjutkan perjalanan, nanggung ah! Setelah kongkalikong menentukan mau ngecamp dimana, akhirnya ada suatu keputusan yakni : lanjut jalan!! akhirnya kami pun lanjut. Melewati tanjakan berikutnya, waah.. kurasakan adrenalinku memuncak. Dalam hati tersemat doa yang tak pernah berhenti. Kami berperang melawan keluh kami untuk melewati dengan sekuat hati menekan ego. Rasa ingin menyerah terkadang muncul, namun ku tepiskan. Batinku teriak, nanggung ah kalau tidak dilewati. Sayang banget, udah sampai sini masak mau nyerah? Dalam kamusku, gak ada kata menyerah! Sekuat tenaga kuhadapi berbagai pijakan-pijakan, sesekali aku terpeleset karena jalanan yang licin.

            Sempat aku salah jalan. Ada dua cabang jalur air sebagi jalan tempuh menuju atas. Aku memilih sebelah kiri, semakin keatas tak ada pijakan, lalu aku beralih ke jalan satunya lagi yang sebelah kanan. Ketika aku berbalik dan berusaha mencapai pijakan, aku terpeleset dan jatuh tersungkur. Kurasakan tegang diotot paha kiri, nyeri yang dahsyat. Aku menjerit kesakitan karena hebatnya nyeri yang menghujam otot pahaku. Sementara menunggu nyeriku ini benar-benar hilang, aku hanya duduk di tempat kejadian perkara dengan menahan rasa sakit yang mendera. Setelah beberapa saat aku terduduk, akhirnya nyeri itu hilang dengan sendirinya. Aku berdiri dengan tingkat kehati-hatian yang maksimal dan mencoba untuk berjalan mencapai pijakan demi pijakan dengan cara merayap.

            Tanjakan ini memerlukan mata untuk  tajam melihat, tangan yang siap untuk menggapai pijakan selanjutnya serta kaki yang kuat untuk menopang tubuh. Kami melewati tanjakan ini dengan menggabungkan kekuatan tangan dan kaki karena tanjakan ini tegak lurus. Namun ada kalanya kami sanggup berdiri bila tanjakan sudah cukup meyakinkan dan berjalan normal, tetap menggunakan bantuan tangan untuk membantu badan menuju ke pijakan selanjutnya.

            Langit mulai berubah warna. Perpaduan oranye dan merah menambah warna perjalanan kami. Matahari semakin pelit menampilkan sinarnya dan mulai beranjak dari peraduan. Langit semakin gelap, bayanan merapi masih terlihat keelokannya. Kami sampai di sabana 1. Karena hari sudah larut, kami memutuskan untuk mendirikan tenda di sini. Ada beberapa tenda pendaki lain yang sudah berdiri. Lalu untuk menghemat waktu kami segera mendirikan tenda ditengah kegelapan malam.

            Setelah tenda berdiri kami membagi tugas untuk setiap orang. Ada yang menciptakan api unggun  sebagai pemadam kedinginan, secara dingin sudah mulai merebak. Angin berhembus kencang dan dingin tak kuasa membawa pasukannya untuk menyerang kami. Gemetar aku dibuatnya dan gigiku sampai gemertak tak mau henti. Beberapa orang yang lain mencari kayu untuk menciptakan kobaran api unggun supaya terus bergelora dengan panasnya. Ada pula yang masak nasi dan sisanya memasak lauk untuk makan malam.

            Disela makan malam dan mengahangatkan diri di didepan api unggun, kami pun memulai perbincangan untuk menentukan besok pagi mau muncak jam berapa. Sepertinya, beberapa rekan sudah tak ada gairah untuk melanjutkan perjalanan ini. mungkin lelah dengan treknya yang banyak debu dan terjal. Sehingga, untuk melanjutkan ke puncak pun rasanya sudah malas. Dan diantara kami tak ada yang mengetahui jalur ini, terkadang kami menerka-nerka jalan mana yang diambil, dari sabana satu menuju puncak memerlukan waktu berapa jam tak kami ketahui, terkadang kami berasumsi saja atas ketidaktahuan kami sehingga keraguan muncul.

            Namun hatiku berkata lain, aku ingin mnecicipi puncak merbabu. Sudah sampai sini kenapa gak sekalian menjemput bonus yang sudah di depan mata? Sudah sampai sini kenapa Cuma sampai segini aja? toh tak ada hujan ataupun badai yang menghadang. Apa karena rasa malas saja dengan treknya jadi tak menginginkan puncak? Mungkin karena beberapa rekan sudah pernah sampai ke puncak merbabu, tapi mereka melaluinya di jalur berbeda, sehingga sudah cukup bagi rekan. Tapi aku dan beberapa rekan yang lain belum pernah ke puncaknya dan sungguh ingin berdiri diatas puncak.. tujuan kami selain pulang kerumah dengan selamat adalah mendapatkan bonus. Itu saja.

            Kami ada dua tenda. Tenda satu berkapasitas 6 orang dan satunya lagi 4 orang. Malam semakin larut, pendar bintang di angkasa menjadi pemandangan lain yang tak kalah indahnya. Seperti melihat emas, intan dan berlian yang bertebaran di angkasa dengan bebasnya. Aku menatap bintang-bintang itu, takjub. Salah satu hal yang aku sukai adalah melihat langit yang berisikan bintang-bintang dan bulan menjadi primadonanya. Aku suka melihat ke angkasa, aku nikmati dengan mataku dan aku sering ingin terbang menembus bintang-bintang itu dan berkeliaran diantara mereka untuk merasakan pendarnya. Namun seketika aku tersadar, semakin dekat dengan bintang-bintang diangkasa maka hanya bulatan-bulatan tak rata berukuran besar, berbatu dan menyeramkan warnanya yang bisa kulihat dari jarak yang dekat. Jadi, ku nikmati saja bintang-bintang itu dari bumi,sudah cukup membuatku bahagia.

            Aku merebahkan tubuhku di dalam tenda. Mencoba untuk memaknai perjalanan ini. memahami atas perjalanan yang dilakukan oleh berbagai manusia yang memiliki karakter berbeda-beda. Terkadang kita tak boleh memaksakan kehendak kita atas kemampuan oranglain, secara kemampuan orang lain tidak lah sama. Saling menghargai atas keputusan yang diambil, dan menerima dengan lapang dada bila rencana tak sesuai harapan. Aku mulai memejamkan mata, “tidurlah..malam terlalu malam..” lagu payung teduh sayup-sayup terdengar di otakku, menstimulusku untuk tidur lalu  mengakhiri hari ini dengan menyiapkan  lembaran baru bagi esok yang akan tiba.

            12 november 2014. Aku membuka mataku lalu menyegarkan pikirku. Mataku mengerjap melihat kesekeliling tenda. Rekan setendaku yakni Blu, Cepuh dan Jupe. Kami saling melempar senyum di dalam tenda berkapasitas 4 orang. Senyum penuh arti. Matahari sudah menyingsing, langit makin terang. kami bercanda tawa didalam tenda, rasanya waktu berhenti sejenak. Kami berusaha melarikan diri dari kekecewaan karena kami masih berada di tenda. Padahal dalam benak, kami ingin berjalan menuju puncak merbabu. Tapi ada daya, rekan yang lain sudah lelah akan perjalanan.

            Kami keluar dari tenda untuk menyapa pagi. Merasakan oksigen yang segar  masuk ke hidungku dan diproses di paru-paru untuk dikeluarkan menjadi karbondioksida. Di depan tenda kami nampak merapi sedang cantik-cantiknya. Awan-awan putih mengelilingi badannya sebagai perhiasan yang oke. Kami bertegur sapa dengan rekan di tenda satunya. Mereka sudah bangun.

            Aku berbalik badan dan aku tercengang oleh pemandangan yang memukai di merbabu. barisan bukit berjajar berwarna kuning keemasan menjadi suguhan pagi untuk mataku. bukit-bukitnya seolah seperti tempat bermain di acara televisi anak kecil, teletubies. Aku berjalan menjauh dari tenda untuk menikmati pemandangan ini. rumput-rumput kering yang besar dan tinggi menjadi permadani untuk kakiku berjalan.

            Kami tak pernah lupa untuk mengabadikan momen di tempat-tempat yang luar biasa keren. Panorama yang tak akan pernah kami temui di tempat lain. Perjuangan memang tak pernah menghianati hasil. Perjalanan yang melewati berbagai rintangan sudah kami lalui dan mendapatkan hasil yang memuaskan. Ini baru di sabana 1, diatas masih ada sabana 2 lalu puncak. Tak terbayang keindahan apa lagi yang ada diatas sana. Kejuatan apa yang sudah menanti kami diatas sana, kami tak tahu. Kami hanya mendongakkan kepala, melihat ke atas puncak bukit-bukit yang berjajar rapi. Puncak gunung merbabu belum kelihatan di sabana 1. Katanya, puncaknya dibalik bukit-bukit tersebut.

            Kami foto dengan berbagai gaya dan angel yang berbeda-beda. Tak lupa kertas putih berisi tulisan-tulisan tangan sebagai oleh-oleh sahabat yang tidak ikut dalam pendakian ini. duh kekinian banget yha~ hehe... Kami membuat video curahan hati kami. Kami berbicara didepan kamera menumpahkan segala kata yang ingin diucap. Untuk sahabat kami yang bernama Cytra, video itu kami persembahkan.

 Kabut datang silih berganti menyelimuti hamparan rerumputan. Terkadang kabut tebal dengan jarak pandang yang minim datang namun dengan cepat ia berlalu. Kabut tipis seringkali memapar wajah kami.

            Matahari terus meninggi menempati singgasananya. Mengingatkan kami untuk segera bergegas mengakhiri kemping di sabana 1 merbabu. beberapa rekan menyiapkan sarapan dari logistik yang masih tersedia. Apapun makanannya, akan selalu nikmat bila disantap di gunung bersama kawan seperjalanan. Makanan yang masuk kedalam mulutku cukup untuk menambah energi supaya kuat melewati trek-trek berupa turunan curam. Setelah selesai sarapan, kami packing. Membereskan tenda dan barang-barang yang tercecer tak rapi di tanah. Kami mengemasnya dan memasukan di carier dan daypack yang kami bawa masing-masing. Bebannya sedikit berkurang karena logistik tinggal sedikit. Kami meratakan bawaan biar bebannya sama.

            Kami melewati jalanan yang sama. Bedanya, kini kami mendapati turunan yang curam. hati-hati kami melewati turunan berdebu vulkanik. Terkadang kami terpeleset karena pecahnya konsentrasi kami atau kurang hati-hati dalam berpijak.

            Langkah kami diiringi cicitan burung yang sedang berkomunikasi dengan teman-temannya. Suara monyet-monyet di hutan juga memeriahkan minggu pagi ini. dalam perjalanan turun ini kami tidak full satu tim. Anggoro, restu, huda dan asih sudah meluncur duluan. aku, jupe, blu cepuh dan sabilal di posisi tengah. Erwan dan nova di posisi belakang. Kok bisa terpisah-pisah? Karena sesuai dengan kekuatan jalan.

            Tak jarang pendaki yang berpapasan dengan ku sering berbasa-basi dan kaget karena kami yang berada di posisi tengah hanya di temani satu cowok. Lalu kami pun menjelaskan bahwa para cowok sudah duluan, yang dibelakang masih ada satu. Lalu pendaki berdecak kagum pada kami karena aku, jupe, cepuh dan blue sanggup berjalan tanpa banyak cowok yang melindungi. Hanya ada satu cowok, yaitu sabilal. Menurut mereka kami termasuk strong.

Sebelum sampai pada gapura pendakian selo, kami istirahat sebentar sembari membantu nenek-nenek yang tengah mengumpulkan sampah dari pendaki-pendaki yang lewat di jalan setapak. Kami membantu nenek tersebut dengan meminta sampah-sampah dari pendaki untuk di kumpulkan sang nenek supaya dapat duit hasil penjualan sampah . Sampah yang diminta bukan sembarangan sampah melainkan botol bekas. Kami pun berbagi minuman dan makanan yang masih tersisa di tas untuk nenek tersebut. Semoga rejeki nenek lancar dan kebahagiaan selalu menyertainya, doaku sambil melihat mata nenek yang memancarkan semangat tinggi untuk tetap menyambung hidup. Di usianya yang sudah renta, sepatutnya beliau duduk dirumah sambil menikmati masa tua dengan nyaman dan bermain bersama cucunya. Namun Tuhan berkehendak lain.

Setelah kaki cukup kuat untuk melangkah, kami melanjutkan perjalanan. Kami membeli bakso colek-colek yang sudah ada di gerbang pendakian selo. Kami menikmati bakso colek-colek yang panas dengan kepulan asap yang masih mengepul. Lumayan buat mengisi perut yang sudah mulai berdendang. Selain itu menambah rejeki bagi penjual. Kami memakan bakso colek-colek dengan lahap. Nyam nyam~

Kami pulang. Kembali ke tempat rantauan kami. Perjalanan pulang ditemani oleh bintang yang bergelayut di angkasa. Bulan menyapa kami dengan malu-malu dibalik awan hitam yang mengitarinya. Perjalanan ini, mengajarkan banyak hal pada ku. Menghargai satu sama lain atas karakter yang berbeda-beda, mengajarkan tentang arti sebuah penerimaan atas keputusan yang terkadang tidak sesuai dengan keinginan kita dan persahabatan yang hangat dan manis sesuai coklat yang kami seduh ketika digununguntuk mengusir hawa dingin. Semoga silahturahmi tetap berjalan dan candatawa yang tercipta di gunung tak pernah luntur sampai rekan-rekan ku mendapat masa depan yang cemerlang sesuai kemauannya. See you on top guys!!!

Terimakasih untuk perjalanan yang menyenangkan ini.














1 comment :

  1. Keren! saya suka tulisannya...https://bie4traces.blogspot.co.id/ kunjungi juga yah

    ReplyDelete

silahkan berkomentar sesuka hati disini..

My Instagram

Copyright © Amirotul Choiriah . Blogger Templates Designed by OddThemes