What Happened To Us When We were In Dieng? (Part 2)

Lanjutan kisah sebelumnya!
Well, di tengah udara yang lembab-lembab dingin menusuk kalbu hingga relung jiwa ini, #halah. Kami membuka mata kami tepat pukul 04.00, karena kami berencana untuk memulai trackingke Gunung Prau jam segitu. Namun, hujan deras mengguyur desa ini. alhasil, tidak mau ambil resiko karena hujan yang begitu deras, kami menunggu sampai reda. Apa daya, mata kami tak bisa diajak kompromi, kami pun terlelap kembali. Menukik saking dinginya dibawah sleeping bag!
Pukul 05.30 matahari mulai menyingsing. Hujan pun reda meninggalkan bekas basah dijalanan. Rencana untuk mengejar sunrise GAGAL. Noproblemo. Kami mah santai orangnya yak, banyak jalan menuju roma. Kami pun memutuskan untuk wisata mengelilingi kawasan Dieng Pletau. Kami pamit kepada pemilik basecamp, minta maaf sebesar-besarnya karena telah merepotkan. Dan ketika kami ingin membalas budi dengan membayar, namun ditolak. Padahal kami semalam disediakan makanan hlo, sang pemilik basecamp memang super baik. Kami yang merasa tidak enak, sungguh merepotkan. Tapi tidak apa-apa, semoga sang pemilik diberi kelancaran, kesuksesan dan kebahagiaan tiada terkira karena telah meringankan beban mahasiswa yang penat akan skripsi ini.
Pertama, kami melewati gapura Dieng Plateau. Udara sungguh menyejukkan badan. Mandi ngga mandi, gak masalah. Wakaka, mengingat airnya seperti es balok, dingin banget aseli!
Destinasi pertama kami adalah Telaga Warna. Pertama kali menapakkan kaki disini, hanya mata yang sanggup mendeskripsikan keelokan ciptaan Tuhan yang luar biasa indahnya. Udara bersih, pemandangan hijau pegunungan membentang dan telaga yang berwarna hijau tak ada riak, hanya ketenangan yang ditimbulkan dari Telaga Warna tersebut. Menulis ini membuatku ingin mengetahui sejarah kenapa bisa diberi nama Telaga Warna. Oke, lets check out wikipedia!
feel the fresh air and erase the bad of feeling

jalan setapak di Telaga Warna

Hasil dari pencarianku di wikipedia mengenai Telaga Warna ini adalah “Nama Telaga Warna sendiri diberikan karena keunikan fenomena alam yang terjadi di tempat ini, yaitu warna air dari telaga tersebut yang sering berubah-ubah. Terkadang telaga ini berwarna hijau dan kuning atau berwarna warni seperti pelangi. Fenomena ini terjadi karena air telaga mengandung sulfur yang cukup tinggi, sehingga saat sinar Matahari mengenainya, maka warna air telaga nampak berwarna warni.” (well, aku kesana pagi-pagi dan warna dari telaga itu hanyalah hijau. Kurang tahu kalau siang hari)
Kami pun berjalan menyusuri jalan setapak di telaga warna ini. Kami berjalan sampai ke ujung. Kami pun melewati batu tulis yang didepannya terletak sebuah arca Gajah Mada. Dilansir dari www.diengindonesia.com, batu tulis ini juga disebut sebagai batu semar dikarenakan bentuknya seperti wajah semar. Terlepas dari semua itu, tempat tersebut juga di anggap sebagai tempat meditasi oleh komunitas kejawen dan masyarakat hindu pada jaman dulu sebagaimana di ceritakan dari salah satu prasasti yang pernah di temukan di dieng yaitu prasasti Wadihati ( Musium Nasional Jakarta ). Ketika pada masa peradaban Hindu di Dieng juga sudah di gunakan oleh para kawikuan sebagai tempat kegiatan Askestik.
Arca Gajah Mada

Batu Tulis or Batu Semar

Setelah puas menikmati panorama di Telaga Warna kami pun pindah tempat. Masih banyaak tempat di Dieng yang harus di eksplore. So, tempat kedua yang kami kunjungi adalah Kawah Sikidang!
Bau telur busuk, eh bukan ding, maksud ku bau belerang menusuk hidung ketika kaki kami memasuki wilayah wisata Kawah Sikadang. Sebelum sampai di kawah, kami harus melewati penjual sayur-sayuran dipintu masuk. Lebih banyak sih jualan kentang, khasnya adalah kentang merah.
No word can describe what I saw in Kawah Sikidang! Fenomena alam yang luar biasa indah. Tadi di telaga warna kami lihat yang hijau-hijau, sekarang di Kawah Sikidang yang kami lihat adalah perpaduan pegunungan hijau dan struktur hamparan tanah berwarna abu-abu.


Perjalanan selanjutnya adalah Candi Arjuna. Keren! Pemandangan di Dieng ini sungguuuhhh keterlaluan kerennya!
Capek foto-foto di hamparan rerumputan hijau, kami melanjutkan perjalanan ke Dieng Pleteau Teater. kami menonton film dokumenter tentang Dieng. Fil dokumenter itu menjelaskan tentang sejarah, kondisi, geografis, budaya dan fenomena alam dan membuatku terperangah. Selain menyajikan wisata alam yang indah, dieng pun terdapat nilai budaya yang patut diacungi jempol, misalnya misteri tentang rambut gimbal pada anak-anak di Dieng dan pada saat tertentu terdapat upacara pemotongan rambut gimbal kemudian rambutnya akan dilarung ke sungai. Well, masyarakat meyakini mitos rambut gimbal akan membawa rejeki dan kemakmuran di Dieng.



Nonton film sudah, terus apa lagi selanjutnya?? Sebab kami tidak mendapatkan Sunrise, so karena hari sudah sore kami menginginkan Sunset! Dimana kami akan mendapatkannya? Puncak Sikunir of course! Kami menuju kesana lagi, setelah malam sebelumnya kami berkutat dengan yang gelap-gelap, tapi kali ini perjalanannya penuh warna kok. Yaiyalah, terang!
Sampai parkiran sikunir hanya ada kami saja,. kami positive thinking saja, mungkin wisatawan sudah pada balik. Dan hanya ada dua warung yang buka. Oke, kami akan menuju puncak Sikunir. Kami turun dari motor. Kami lihat kondisi diatas puncak. hmm.. berkabut tapi dikit. Masih aman lah. Tak beberapa saat, kabut tebal hadir menutup puncak. kami yang masih di parkiran langsung cengo dengan munculnya kabut tiba-tiba.
“yaudah deh kita foto-foto saja di danau! Kabut tebel ih, ngeri” kataku. Dan rekan yang lain pun mengiyakan. Pas kami mau menuju danau, kabut tebal langsung turun menyelimuti danau hingga parkiran. Well, kami pun takut langsung bergegas meninggalkan parkiran. Balik saja lah! Mungkin semesta tidak merestui kami untuk “hiking” Gunung Prau maupun Puncak Sikunir.
Kami memutuskan untuk pulang. Ditengah perjalanan ada gangguan pada motor yang aku bawa dengan Ardha. Rem tiba-tiba blong. Kami pun berjalan pelan, mencari bengkel. Rem blong ketika berada ditengah-tengah hamparan pegunungan, ekstra hati-hati karena jalan naik turun.
Setelah menyelesaikan rem motor,kami pun ingin mengabadikan diri kami di tulisan Dieng. Daaann, betapa kagetnya kami karena basecamp yang kami cari semalam suntuk ada didepan tulisan Dieng! What The~ padahal semalam pun kami lewat sini tidak ada apa-apa, sepi-sepi saja. anyway, di basecamp itu banyak yang melakukan pendakian di Gunung Prau. Banyak yang membawa keril dan muka pada lelah setelah “hiking”.  Padahal, di basecamp kami bernaung semalam itu hujan deras mengguyur.
Aneh tapi nyata. Thats what happened when we were on Dieng. Tapi, semua itu menjadi pengalaman yang tak terlupakan di benak kami. Setidaknya kami pulang membawa cerita yang.. memorable.
Sekitar pukul 21.00 kami sampai Tembalang dengan selamat. Tidak ada satu kehilangan apapun dari kami. Masih utuh. Selama di Dieng aku tidak update sama sekali di sosial media mengenai perjalananku ini. namun, di facebook tautan dari path ada status yang muncul “saatnya pulanggg”. WTF. Siapa nih yang membajak? Aku menghubungi Ardha, Lucky dan mba Dwi namun mereka tak satu pun ngutak-ngatik sosial media, buka path atau facebook. Pertanyaanya, siapa yang bikin status? Aku pun engga. Dan status itu ditulis pas banget  jamnya waktu kami pulang menuju Tembalang.

Keesokan harinya,  hujan deras terus mengguyur Tembalang. Kos sepi hanya tersisa 4 orang saja. handphone tergelatak dikamar karena aku dan teman-temanku di dapur untuk membuat olos, makanan khas tegal. Pas di kamar, ngecek handphone, ada lagi status yang muncul “hujan, dingin, brr” who is that? Siapa nih yang iseng????  I dont know~

Post a Comment

silahkan berkomentar sesuka hati disini..

My Instagram

Copyright © Amirotul Choiriah . Blogger Templates Designed by OddThemes