Setelah tersekap dalam rutinitas magang dan berkutat dengan proposal skripsi selama kurang lebih 5 bulan, akhirnya ada jeda yang membuatku bergairah untuk melewatkan nya dengan senang hati. Naik gunung!! Yay, aktivitas yang menguras fisik dan mental ini selalu aku suka, menjejakkan kaki di tanah pertiwi untuk sekedar membersihkan pikiran dengan udara pegunungan yang mentramkan hati dengan melihat paronama yang terlukis indah di atas sana.
Tujuan ku kali ini adalah Gunung
Sumbing. Suatu ajakan dari rekan untuk mengikuti acara pendakian masal Pyramid,
salah satu mapala di Universitas Diponegoro milik D3 Teknik Elektro. Penmas ini
dihadiri berpuluh-puluh orang, aku tak sanggup untuk menghitungnya, tak ada waktu,
karena aku disibukkan oleh pikiranku yang mendamba akan ketinggian, mencium
aroma petualangan yang sudah di depan mata. Penmas ini dibagi
perkelompk-kelompok supaya gampang jalannya. Aku satu kelompok dengan rekanku.
Ada Jupe, Cepuh, Sari, Inay, Firda, Nauval dan Kharisma. Kami berdelapan
menyiapkan segala sesuatu untuk keperluan kelompok sebelum hari-H itu tiba.
Yang dipersiapkan bersama adalah logistik, seperangkat alat masak dan tenda
untuk tidur.
Tanggal 8 Mei 2015, perjalanan pun
dimulai. Transportasi yang digunakan adalah Truk. Kami melewati Jalur Bowongso
untuk pendakian kali ini. Malam makin remang dengan kehadiran bintang-bintang
sebagai penghias perjalanan. Pasukan dingin pun menyerang bertubi-tubi melewati
pori-pori kulit. Padahal ini masih di bawah kaki Gunung Sumbing, tapi aku sudah
merasakan dingin yang menyeruak. Menyentuh air untuk membersihkan debu-debu
yang menempel di muka akibat perjalan menggunakan truk bak terbuka tadi,
seperti mencelupkan tangan di baskom berisi air dan gelondonan es. Mensucikan
diri dengan membasuh kepala, muka, tangan dan kaki untuk sembahyang kepada
Allah supaya diberi kemudahan dalam melewati aral rintang yang sudah tampak di
depan mata.
Makan malam di sponsori oleh masakan
Kepala Desa bowongso. Jalur ini tak ada basecamp khusus, jadi untuk tempat
peristirahatan adalah di rumah bapak kades.
Di rumah itu tersedia bermacam lauk untuk siap di santap. Seduhan teh
panas yang asapnya masih mengebul jadi senjata untuk melawan dingin yang
meronta untuk dibebaskan dari tubuhku. Teh panas dengan kehangatannya menjalar
ke sekujur tubuhku. Menghangatkan.
Perjalanan dimulai ketika bulan
sudah tepat diatas kepala. Kami melewati perkebunan warga yang hanya tampak
siluet sebab malam yang menghanyutkan. Tergambar dengan jelas bayangan Gunung
Sumbing yang mencuat dibalik awan-awan gelap yang mengapung di sekitar badannya.
Langkah gentar, semangat membara dan
nafas memburu. Kanan kiri masih perkebunan warga. Tidak jelas sayuran apa yang
membentang sejauh mata memandang. Terlihat kerlip bintang daratan berupa
lampu-lampu rumah tak kalah apik-nya dengan gemintang di angkasa. Di seberang
sana kami bisa melihat saudara kembar Gunung Sumbing yang sama gagahnya
berdiri, yakni Gunung Sindoro.
Setelah perjalanan panjang melewati
perkebunan warga, akhirnya kami memasuki hutan dan jalan setapak. Sebelum
memasuki hutan, kami mengalami suatu insiden yaitu nyasar. Karena rombonganku
di kloter tengah, kami tertinggal oleh pasukan depan. Kami sama sekali belum
pernah menjejakan kaki di jalur ini, kami melewati ini mengikuti senter-senter
di depan kami yang sudah jauh langkahnya. Sampai ketika kami menyadari bahwa
senter yang menjadi patokan kami sudah berhenti menyala dan tak ada batang
hidungnya. Lalu kami menyadari bahwa kami kesasar. Salah satu panitia, anggota
Pyramide berbalik arah untuk mencari rombongan di belakang atau sweeper. Satu
orang yang berbalik itu pun akhirnya kembali kepada kami yang tengah menunggu
kepastian akan jalan mana yang harus kami ambil.
Kami mengikuti panitia tersebut
berbalik arah, hmm.. ternyata jauh juga kami kesasar. Lalu kami melanjutkan
perjalanan melewati hutan, pohon-pohon yang besar dan berwarna gelap menampilkan gerakan-gerakan karena sapuan
angin. Tujuan pertama kami di pos 1. Rencananya, di pos 1 ini kami bakal
mendirikan tenda untuk rehat sejenak meluruhkan peluh dan memejamkan mata untuk
keeseokan harinya menyambut matahari dengan keadaan segar. Estimasti waktu
untuk sampai pos 1 ini pukul 04.00 WIB. Rombongan kami masih awam dengan jalur ini.
kami terus berjalan melewati rimba, mengarahkan senter ke pijakan. Dalam hati
selalu berdoa untuk dikuatkan melewati tanjakan-tanjakan tersebut. Melawan rasa
kantuk yang makin mendera.
Fisik orang memang beda-beda. Ada
yang kuat menahan capek dan ada yang terlena memanjakan rasa capeknya.
Rombongan di depan kami, salah satu kategori yang sering terbuai rasa capek.
Sehingga baru saja melangkahkan kaki beberapa meter sudah tak kuat dan rehat
sejenak meluruhkan peluh. Dan itu yang bikin kami capek sendiri, karena
jalan-berhenti, jalan-berhenti. Ketika rombongan di depan itu sudah siap untuk
melanjutkan perjalanan, salah satu orang disana teriak kepada kengkawannya “are
you ready guys?” dia melantangkan pertanyaan itu dengan semangat, supaya
kengkawannya kuat. Tapi justru itu yang membuat kuping kami iritasi. Semangat
yang lantang diucapkan dari mulut tapi tidak sesuai dengan kenyataan. Namun ku
hargai, itu salah satu usaha untuk penyemangat mereka.
Kami ingin segera menuju pos 1. Kami
sudah letih dan butuh tidur. Rombongan di depan kami tak mau beranjak, lalu
kami pun menyalip rombongan di depan kami. Dan kami kezel. Kami terus berjalan,
menahan kantuk dengan sekuat tenaga dalam yang kami bisa. Menuju pos 1, ku gantungkan
depan keningku. kami terus berjalan dan tak kami lewati juga pos 1. Matahari
mulai menyingsing. Dan pukul 04.00 seharusnya sudah sampai di pos 1 lalu
berleha-leha di tenda. Tapi kenyataanya, kami masih terus berjalan untuk
menemukan pemberhentian kami. Di temani sang surya yang terus menampikkan
cahayanya kepada bumi.
Rasa kantuk yang kian meraja
menyurutkan langkah kami. Rombongan kami hanya tersisa aku, Jupe, Inay, Firda,
Sari dan Kharisma. Cewek semua bro. Cepuh, Adam dan Nauval sudah duluan. kami
seperti rombongan di depan kami tadi, jalan-berhenti, jalan-berhenti. Semangat
kami memudar. Kami berjalan melewati tanjakan yang gak main-main, tak ada bonus
daratan yang panjang di jalur ini. Menanjak terus tak ada ampun. Sekalinya
berhenti kupejamkan mata sejenak, mengobati rasa kantuk secara perlahan-lahan.
Kami berhenti di tengah rimba untuk
mengisi amunisi perut kami yang sudah kosong. Anakonda di perutku sudah
meraung-raung minta dikasih makan. Kami berenam makan dengan nasi bungkus yang
sudah dikasih panitia semalam. Seorang panitia lewat di jalan setapak tempat
kami duduk. Dia berhenti sebentar untuk sekedar berbincang pada kami. Dan yang
bikin kami keki setengah mati adalah ketika mendengar pernyataan darinya “pos
satu udah kelewat mba, maafkan ketidaktahuan kami, bentar lagi pos 2, berhenti
disana aja untuk istirahat”. Aku mendengus kesal. Sudah kelewat?? “di pos satu
memang tak ada tulisan penandanya” katanya, sekali lagi. What the.. rasanya
pengen mencak-mencak.
Nasi sudah menjadi bubur, buburnya
sudah di telan dengan nikmat dan kami mencoba untuk tidak melaknat. Perjalanan tetap
dilanjutkan menuju pos 2 yang katanya sebentar lagi. Setelah pengisian amunisi,
semangat kami kembali. Tujuan kami sekarang pos2, tidak muluk-muluk, aku cuman
ingin mengistirahatkan badan setelah capek berkutat dengan tanjakan-tanjakan
terjal. Matahari sudah meninggi, langit pun membiru. Pemandangan Gunung Sindoro
dengan petakan-petakan sawah di bawah sana, menjadi penyejuk mata kami yang
semalam berkutat dengan kegelapan. Entahlah kini kami di ketinggian berapa,
rasanya sejajar dengan awan.
sabana jalur bowongso |
Sindoro tampak dari savana ini
begitu cantik dipadukan dengan awan-awan kecil yang melingkar di puncaknya dan
langit begitu biru sebagai warna yang mendominasi di atas kanvas besar, menambah keindahan lukisan Tuhan. Seduhan
pemandangan dari Tuhan tak kuasa untukku mengucap syukur atas keindahan yang
tercipta di Negeriku. Dalam hati bertekad, tidak hanya mengunjungi Sumbing saja,
suatu saat akan ku jejaki Sindoro dengan segenap kerendahan hati dan tentunya
sama Kamuu, kalau boleh?
Perjalanan selanjutnya melewati
bukit-bukit tinggi yang terbentang di depan mata kami. Puncaknya belum
kelihatan. Jalanan ini begitu terjal. Nafasku tersengal-sengal dibuatnya.
Mataku terus menatap kedepan. Terkadang kabut tebal menyelimuti perjalanan kami
sehingga mata kami terus berjaga karena jarak pandang sangat minim sekali. Jalan-berhenti,
jalan-berhenti menjadikan kami kelompok yang paling akhir. Sampai malam menjelang,
kami masih melewati jalan setapak dengan ketinggian yang terjal dan tak ada
bonus. Nafas kami kian memburu dengan badan yang ekstra capek dikarenakan tidak
tidur di hari kemarin.
Tujan perjalanan kami adalah puncak
kawah. Rencananya kami mendirikan tenda disana. Namun perjalanan masih panjang
sekali. Cepuh dan Nauval terpisah dengan kami. Membuat kami ketar-ketir
karena perjalanan yang terlampaui jauh
dan lama ini tidak beranggotakan lengkap. Takut terjadi apa-apa kepada mereka,
namun seutuhnya kami percaya sama mereka berdua bahwa mereka bisa melewati.
Toh, mereka bergabung dengan
kelompok-kelompok lain.
Hujan turun di tengah kegelapan
malam. menambah suasana dingin yang sudah dingin. Merasakan air hujan di
gunung, ada satu sisi aku mengutuk satu sisi lainnya bersyukur. Pada dasarnya
aku suka hujan, suka banget. Setiap sentuhan dengan air yang turun dari
gumpalan awan membuatku syahdu untuk merasakan hidup, menikmati setiap jengkal
apa yang diberikan Tuhan. Namun, aku lebih memilih untuk tidak bertemu dengan
hujan ketika berada di gunung. Tak lupa
kami memakai jas hujan untuk melindungi diri. Keadaan tanah basah dan tanjakan
terjal membuat mata kami terus terjaga, was-was dengan senter di tangan yang
fokus pada pijakan.
Bahagianya ketika hujan reda. Namun
tanah basah dan licin membuat kami hati-hati tak boleh gegabah. Pendar bintang
mulai bermunculan di gempita malam. Langit yang mewah seperti memakai perhiasan
yang berkialau, menemani perjalanan kami. Aku, Jupe, Sari, Inay, Firda, adam di
tambah 2 panitia pyramide menyusuri hutan belantara. Kami tidak mengetahui
jalan menuju puncak, kami semua awam atas jalur ini. belum pernah kesini
sebelumnya. Tapi kami percaya pada hati dan kekuatan doa. Ada Tuhan bersama
kami, ada doa yang terus bergema di dalam hati.
Sekitar pukul 21.00 kami sampai pada
tujuan kami, puncak kawah. Malam-malam diatas ketinggian 33371 mdpl, angin
menghunuskan sayatannya pada muka kami. Angin yang dingin berubah seperti pisau
yang tajam menggores tanpa ampun. Dibawah aku melihat lampu kota yang
memperlihatkan kerlipnya menjelaskan bahwa kami sudah benar di ketinggian. Kami
pun turun menuju lokasi kawah Gunung Sumbing. Kami mendirikan tenda di sekitar
kawah. Tercium bau belerang yang bikin mual. Menuruni puncak ke dalam perlu
mata yang ekstra terjaga dan kehati-hatian maksimal. Soalnya turunan ini berisi
batu-batu tajam. Jas hujan yang masih ku kenakan sobek karena gesekan dengan
tajamnya batu.
Kami datang mencari Nauval dan
Cepuh. Kelompk-kelompok lain sudah mendirikan tenda mereka dan terjaga di dalam
tenda lalu meringkuk untuk membunuh rasa lelah. Sayang di sayang, hanya tenda
kami yang belum berdiri. Kami bertemu Nauval dan cepuh yang duduk dan tertidur.
Akhirnya kami bersama-sama memasang tenda berkapasitas 8 orang. Tenda paling
besar diantara lainnya. Kemudian tenda sudah berdiri dengan gagah. sebelum
tidur kami memasak untuk makan malam. ah ini yang paling aku suka ketika
berkemping, masak menggunakan nesting! Walaupun masakan kami jauh dari kata
mewah, berkat suasana malam yang syahdu di dalam gunung dan kehangatan
persahabatan yang membuat makan malam ini lebih mewah dibanding makan di kapal persiar.
Makan malam kami diiringi oleh hembusan angin yang menerpa wajah kami. Makan
malam bersama para sahabat dengan guyonan dan perbincangan tanpa batas, membuat
kami sangat menyadari arti persahabatan yang sesungguhnya. Setelah perjalanan
yang panjang dan perjuangan keras, akhirnya kami merebahkan diri di dalam tenda
dan memejamkan mata.
10 Mei 2015. Ada panggilan untuk
menangkap sunrise di puncak. Tapi kami enggan. Yang berangkat hanya Nauval
saja. kami meringkuk di tenda menahan rasa dingin pagi hari yang menyeruak,
masuk ke jaket dan menembus kulit secara paksa. Gigiku gemertak menahan dingin
yang membara di sekujur tubuh. Perlu waktu lama untukku beradaptasi dengan hawa
ini. aku keluar tenda dan menarik nafas dalam lalu mengeluarkan secara perlahan.
Mencium aroma pagi di dalam Gunung Sumbing, ahhh syahdu. Matahari belum terlalu
menyingsing. Hanya semburat oranye diantara biru tua yang makin memudar untuk
menjadi biru muda. Mataku memandang segala arah untuk mengagumi segala
keindahan yang terbentang sejauh mata memandang. Tebing-tebing cadas mengitari
dalam perut Sumbing. Puncak kelihatan dari sini, semalam kami telah
melewatinya.
Kami berjalan-jalan mengitari
lingkaran Sumbing ini. terkadang bau belerang menyapa kami. Batu-batu,
rerumputan dan bunga edeilwess menjadi obyek kami untuk mengambil foto. Pagi
semakin jelas peradabannya, matahari makin tinggi kuasanya untuk menyinari
segenap yang tercipta di bumi. Kami menemukan tempat yang.. waaaw... seperti di
antah brantah. Tempat apa ini, apa ini yang namanya surga? Aku tak mampu
untuk mendeskripsikan tempat ini, hanya
mataku yang mampu menyimpan dan menaruhnya lekat di dasar hati. tempat yang
indah, perjuangan kami kemarin terbayar dengan bonus yang impas. Kami
mengabadikan diri kami di tempat ini, tidak hanya foto namun video juga. Kami
merekam diri kami dan berlatarkan pemandangan yang membuat setiap mulut berdecak kagum akan keAgungan
Tuhan yang tak pernah mengecewakan.
Setelah puas bermain-main dan
berfoto-foto, kami kembali ke tenda kami. Mengingat matahari semakin tinggi dan
melanjutkan perjalanan ke tujuan paling utama, pulang rumah. Kami menyiapkan
sarapan. Matahari tak gentar menyerang kami dengan sinarnya yang membakar
semangat kami.
Kami bergegas untuk merapikan tenda
dan berkemas. Sampah-sampah dikumpulkan ke dalam plastik, di bagi rata dan di
bawa setiap anak. Ingat, tidak boleh meninggalkan sampah di gunung. Jaga
keindahan gunung dengan memungut kembali sampah yang kau keluarkan, tak ada
yang boleh ditinggalkan di gunung kecuali jejak!!
Perjalanan kembali ke rumah adalah
tujuan utama ketika melakukan pendakian. Puncak hanyalah bonus, dan kami pun
mendapatkan bonus itu setelah berkutat dengan perjuangan yang tak gentar. Kami
melewati tebing berisi batu-batu untuk sampai ke puncak kawah. Jalur yang
ekstrim mengaburkan pandanganku sehingga aku salah mengambil jalan. Aku
tersesat, sendirian. Aku mendapati jalan buntu untuk sampai ke puncak dan
jalanan itu di tutup oleh tumbuhan. Untuk balik lagi rasanya sayang udah sejauh
ini menapak. Lalu aku memberikan kode
kepada rekanku yang masih di bawah untuk mengambil jalan lain. Aku berhasil
melewati kebuntuan itu dengan melewati tumbuhan yang menjalar menutup jalan
tersebut. Tak gentar aku menerobos tubuh tumbuhan itu, dengan sekuat tenaga aku
berhasil keluar dari sana.
Diatas puncak kawah aku terkesima
dengan pemandangan di bawah sana, tempat kami nenda semalam. Kawah yang
mengepulkan asapnya yang bergelora terlihat diantara batu-batu besar di
sekitarnya. Pemandangan yang membuatku takjub atas keindahan lukisan alam karya
Tuhan. Nun jauh disana ada segerombolan awan, namun di tempat kami berpijak tak
ada satu pun awan yang mendekat. Malah kabut yang mendominasi puncak ini.
sebelum kabut semakin lekat dengan kami, tak lupa kami berfoto ria di atas
puncak yang kecil dan memanjang dan terdiri dari batu-batu besar.
puncak kawah |
Kami menuruni turunan tajam. kabut
tebal menamani kami. kami pulang tidak melewati jalan seperti kami nanjak
kemarin, ini beda jalur. Kami pulang melalui jalur Garung. Sialnya, tak ada
tuan rumah yang mengundang, flu bertamu di hidungku. Menyusahkan ku untuk
bernafas, apalagi nafasku memburu namun susah akibat lendir. Badanku campur
aduk rasanya. Rasa lelah berkolaborasi dengan meriang akibat flu yang meradang.
Padahal kemarin aku sehat sentausa.
Kami melewati turunan yang berupa
batu-batu curam. Terkadang kami berpas-pasan dengan segerombolan pendaki yang
lelah akibat melalui jalur garung yang curam ini. seringkali mereka bertanya
pada kami dengan nafas yang berat, “masih lama gak sih puncaknya?”masih!! masih
lama dan masih jauh dan masih nanjak teroos!! Huaha..
Kami berhenti sejenak di pestan. Suatu lokasi di gunung sumbing yang luas dan berpasir debu. Ketinggianya 2437 mdpl. Masih tinggi, beskem masih jauh dibawah sana. Agak licin untuk melewati ini. Kami istirahat melepas lelah sambil memandangi panorama didepan kami yang istimewa. Gunung Sindoro tepat dihadapan kami dengan samudra awan yang mengitari tubuhnya. Ah, ada rasa kesel karena samudra awannya di Sindoro, padahal aku juga menginginkan samudra awan itu mengitari pestan. Aku pernah melihat di internet saat aku blogwalking, ketemu dengan blog perjalan ke Sumbing dan melihat foto-foto yang ditampilkan di blog tersebut. Salah satu foto mencuri perhatianku saat pendaki berfoto di pestan dengan limpahan awan yang bergerumul disisi-sisi pestan. Namun, saat ini aku berada di pestan, tak ada satu awan pun yang mendekat, mereka semua di serap oleh kekuatan magis gunung sindoro. Ah, sudahlah.
haiii pestan! |
Langit makin gelap, pos satu belum
tampak di depan mata. Kami terus menyusuri hutan rimba di kegelapan malam.
sesekali aku berhenti, kali ini aku yang benar-benar tepar akibat meriang
disekujur tubuh. Langkahku sedikit-sedikit, untungnya rekanku memaklumi beban
apa yang kurasa. Namun satu insiden yang membuat kami khawatir adalah ketika
kakinya Adam terkilir. Dibantu dengan tongkat kayu alakadarnya, Adam berjalan
sambil menahan rasa sakit yang di
deranya. Bersabar melewati turunan-turunan dengan malam yang makin gelap di
tengah hutan.
Sampai akhirnya ada suara bising.
Aku senang karena itu suara motor ojek di pos satu. Namun, pernyataanku
dipatahkan oleh rekan bahwa itu adalah suara gerombolan tawon. Aku yang senang
akhirnya tercengang, ada rasa takut karena itu suara tawon. Ah, sudah lelah
masih saja ketemu tawon. Tapi itu salah! Ternyata suara bising tadi adalah
suara ojek di pos satu yang tadi aku telpon, aku memesan untuk setiap orang .
Yeay.. akhirnya, sampai juga di pos satu. Pengalaman pertama, turun gunung
pakai ojek nih, pakai motor trail pula!
Kami semua naik ojek kecuali Cepuh
dan Tega, ketua acara penmas ini, salah satu anggota Pyramide. Mereka memilih
jalan kaki, dan itu hanya berdua saja. kami yang naik ojek meninggalkan Cepuh
sama Tega untuk menikmati perjalanan diantara bentangan kebun warga dan
kegelapan yang menyelimuti. Namun, akibat jalan kaki itu timbulah bunga-bunga
yang bersemi dihati mereka.sehingga mereka tetap melanjutkan perjalanan berdua
tidak sebatas pos satu-beskem Garung, tapi di hari-hari berikutnya pun
perjalanan terus berlanjut. Selamat Cepuh dan Tega, semoga tetap berjalan
sampai ujung dunia yhaa.. Sumbing
membawa cinta, ternyata.
Pendakian Sumbing ini menawarkan
banyak cerita yang ada. Menciptakan cerita yang tak pernah terbayang
sebelumnya. Petualangan yang menarik untuk tidak dilupakan sepanjang masa dan
menjadikan pengalaman berharga untuk terus berjuang melewati rintangan yang kadang
datang tanpa terduga. Dari perjalanan ini aku banyak belajar. Persahabatan yang
hangat semoga tidak hanya diatas gunung, namun kekal di tahun-tahun berikutnya,
ditempat-tempan lain dimana kaki berpijak. Aku banyak belajar untuk bertahan,
menahan untuk mengendalikan ego diri dan menghargai rekan yang berbeda
karakter. Aku menikmati perjalanan ini, aku merasakan banyak hal. Ada asem,
manis, asin, semua melebur menjadi sebungkus cerita yang kekal tersemat di
hati. peluk erat untuk sahabatku pendakian, jargon “Are You Ready Guys?” terus mengawang di otak
sebagai pengingat perjalanan yang menyenangkan, dan juga sebagai nama grup line
yang kami bikin untuk mengikatkan guna menambah persahabatan yang kian dekat.
Ditunggu
pendakian-pendakian selanjutnya dengan cerita yang berbeda, dan tentunya yang
menyenangkaan..
Post a Comment
silahkan berkomentar sesuka hati disini..