Assalamualaikum, kali ini aku akan menceritakan sebuah kisah
perjalanan anak muda yang sedang melepaskan penat di sebuah dataran tinggi yang
bernama Dieng. Kepenatan ditimbulkan oleh skripsi yang tak kunjung selesai dan
bosan menghadap layar laptop terus-terusan. Pengennya refreshing, gitu!
(sebenernya ini cerita pas masih kuliah, tepatnya tanggal 1 April 2015. kenapa baru di post, karena ngedraft lama banget dileptop.. baru kali ini semangat buat lanjutinnya. Sorry!!)
Here we
are...
Matahari
tenggelam dipenghujung hari, digantikan bulan yang malu-malu menampakkan
cahayanya karena diselimuti oleh awan pekat yang mendominasi kota Semarang.
Sebelumnya, kami akan melakukan perjalanan ke Dieng dengan berbanyak rekan dan
desitinasi utama kami adalah Gunung Prau. Namun ketika hari H, rekan-rekan kami
mengundurkan diri untuk mengikuti perjalanan ini dikarenakan berbagai alasan.
Lantas aku yang semangat menggebu dan penat sudah menyelimuti otakku memutuskan
untuk tetap berangkat berapapun orang yang akan ikut ini. alhasil, hanya ada 4
orang yang tak ada alasan dan tetap melanjutkan perjalanan ini.
Sebelum berangkat pun kami bersiap-siap, membawa daypack
berisikan alat pribadi kami masing-masing. Tak ada tenda ataupun nesting, sebab
rencana kami adalah perjalanan tik-tok. Sampai beskem jam satu lalu
mengistirahatkan badan barang sebentar saja lalu dilanjut treking Prau pas
subuh. Begitulah rencana kami :)) simple kan?
Perjalanan dimulai dari Tembalang menuju Bandungan. Dari
awal kami memang niatnya untuk lewat Sumowono, karena kami hanya tau jalan itu
untuk sampai ke Wonosobo. Sampai Bandungan dengan tanpa aba-aba yang
pasti, langit menumpahkan air cukup
banyak sehingga kami pun berhenti sejenak di pombensin untuk memakai jas hujan.
Mengingat waktu yang yang semakin malam, kami putuskan untuk melanjutkan perjalanan.
ketika itu waktu sudah menginjak pukul20.30an pokonya.
Sumowono memang terkenal dengan udara dinginnya, tapi karena
hujan mengguyur lalu kami tidak merasakan dingin. Sebenarnya, saat itu adalah
musim begal sedang kelayapan dijalan-jalan dan itu membuat kami takut. Apalagi
jalanan Sumowono ini gelap dan sepi, hanya ada satu atau dua motor yang
melintas selain kami. Kabut menyergap kami. Jarak pandang hanya beberapa meter
saja. perlu ekstra hati-hati. Sebenarnya kami takut, dalam hati banyak berdoa
untuk meminta perlindungan pada Allah SWT. Kami tidak takut hantu, kami
takutnya setan berbentuk manusia yang dikenal sebagai begal!
Setelah melewati Sumowono dengan kesenyapan yang menyelimuti
sepanjang perjalanan, akhirnya kami selamat sampai Temanggung. Kali ini jalanan
cukup ramai, jadi ketakutan kami langsung sirna. Teman perjalanan kami adalah
truk-truk besar.
Wonosobo menyambut
kedatangan kami dengan hujan yang masih setia membasahi perjalanan ini. namun
aku sangat berterimakasih dengan hujan karenanya tak kurasakan dingin menusuk
kulitku. Sempat berhenti di pom bensin untuk menghilangkan lelah yang semakin
mendera.
Hampir memasuki kawasan Dieng, di sisi kanan jalan ada
spanduk yang menyita mata kami. Spanduk
tersebut bertuliskan “basecamp Gn. Prau” lantas aku bilang sama Ardha “dhaa..
itu beskemnya”. Kami yang sudah melewati gang yang ada spanduknya itu langsung
berbalik arah kemudian masuk gang untuk menemukan beskem itu.
Gerimis masih setia menemani perjalanan kami. Suasana Desa
begitu senyap, rumah-rumah pun rapat menutupkan pintunya. Suasana khas desa di
dataran tinggi sangat kental disini. Kami menyusuri jalan kecil sambil menoleh
kanan kiri untuk mengetahui dimana letak beskem yang tertera dari spanduk yang
kami lihat didepan gang. Hanya deru motor kami serta tetesan air dari langit yang
meramaikan perjalanan kami, selebihnya sepi mendera perkampungan.
Sampai ujung gang tak kami dapati keterangan mengenai dimana
beskem Gunung Prau. Ujung gang adalah rumah gelap gulita, tak ada penerangan.
Mungkin tidak berpenghuni, entahlah. Atau memang sudah larut jadi penerangan
dimatikan dan penghuninya terlelap. Namun di tiang penyangga rumah tersebut ada
tulisan yang ditulis di papan yang ditempel dan bunyi tulisan tersebut adalah
“Arah Makam” berserta tanda panah menuju arah kiri. Setelah baca panah tersebut
seketika aku langsung menoleh, ada gang jalan tikus kecil gelap gulita disana.
Tanpa pikir panjang, kami segera berbalik arah. Lalu
melanjutkan perjalanan kami tanpa menggubris mengenai jalan buntu ke arah makam
tersebut. Kami sibuk dengan mencari dimana lokasi beskem gunung prau.
Sampai pada persimpangan, kami mencoba untuk berbelok ke
kiri. Namun, yang dapati adalah suasana gelap gulita pekat dan tak ada rumah
ataupun penerangan. Kalau siang hari, hamparan kebun akan terlihat. Sayangnya
ini malam, agak menyeramkan. Kami berbalik arah lagi, melalui jalan yang
pertama kali kami lewati.
Syukurlah, ada dua orang lewat. Kami pun langsung tanya
dimana letak beskem yang tertera pada spanduk di depan gang. Kedua orang itu
menunjukan lokasi dimana beskem gunung prau. Ternyata, lokasinya sudah kami
lewati dan tidak ada tanda khusus yang menyatakan rumah tersebut adalah beskem.
Akhirnya kami pun bergegas menuju beskem yang tak jauh dimana tempan kami
bertanya pada orang lewat tersebut.
Sampai di besekem, keraguan mencuat seiring sepinya beskem.
Kami segera lepas mantel ujan yang kami kenakan sepanjang perjalanan. disambut
oleh mas-mas penjaga beskem yang ramah. Kami pun tengok kedalam beskem, dan
penghuni beskem semua laki-laki. Hari itu adalah pembukaan beskem Prau tersebut
sekaligus pembukaan bagi pendakian Gunung Prau. Well, selama bulan Januari
sampai April memang jalur pendakian Prau semua ditutup.
Aku, Ardha, Mbak Dwi dan Luky pun berdiskusi.
“kok sepi banget yak?” Tanyaku ragu.
“iya nih, gimana dong?” kata Mbak Dwi.
Lalu aku memutuskan untuk bertanya sama penjaga beskem yang
berdiri tidak jauh dari kami. “Mas, di Gunung Prau tuh jalurnya ada berapa?”
“ada tiga Mbak” Jawabnya.
“Trus beskemnya tuh dimana aja mas?”
Mas penjaga beskem pun menjelaskan ketiga beskem Prau.
Beberapa bulan yang lalu aku pernah ke Sikunir dan melewati beskem Prau yang
sangat ramaii, lokasinya ada dipinggir jalan. Aku pun berdiskusi lagi dengan
ketiga temanku.
Setelah berdiskusi panjang, akhirnya kami pun pindah ke
beskem yang letaknya ada dipinggir jalan. Alasannya karena beskem ini sepi.
Sebenarnya tidak masalah sih, cuman di beskem isinya cowok semua. Parno aja
mengingat yang cewe adalah aku dan Mbak Dwi.
Kami meninggalkan beskem pertama untuk menuju beskem gunung
prau yang sepi. Menurutku ganjal. Yah, perasaanku ngga enak aja sih. Lantas mesin
motor kembali menderu menuju gapura yang bertuliskan “Dieng Plateau”. Hujan
rintik-rintik menyertai perjalanan malam ini. karena ini musim hujan, udara
malam tidak sedingin kala datang musim kemarau.
Menyusuri jalan yang notabene sepi sekali. Tidak ada orang
satu pun muncul sepanjang jalan. Mengingat sudah larut malam pula hujan, mana
ada orang yang mau meninggalkan
kasurnya.
Sampailah kami dikawasan wisata Dieng Plateau. Kami celingak-celinguk
kanan kiri untuk mencari beskem yang katanya dekat gapura selamat datang
kawasan Dieng. But, nothing. Kami tidak menemukan bangunan yang tak tertutup
pintunya, semua sepi dan tak ada satu orang pun yang bisa ditanyain. Well, kami
pun menyusuri jalan.
Suasana gelap menjadi teman bagi kami. Secara Dieng ini
pegunungan jadi jika malam hari lampu jalan sangat minim dan hanya didominasi
oleh kegelapan. Hati ini was-was, doa tetap dipanjatkan. Mungkin hanya kami
berempat yang saat ini sedang melek, yang lain tidur. Bisa jadi gitu!
Motor terus melaju kencang, tak ada satu pun tempat yang
buka. Sampai pada akhirnya kami sampai di Sikunir. What the... jauh banget itu
men! Dan yang paling mengerikan adalah tak ada satu pun warung yang buka di
kawasan Sikunir, kabut pun mendominasi, udara dingin menyeruak seketika. Padahal
ini LONG WEEKEND, setahuku long weekend di Dieng selalu ramai, minimal ada yang
buka lah warungnya. Soalnya dulu pas aku ke Sikunir, warung pada buka dan ramai
akan pengunjung. Lah ini? kami pun bergegas meninggalkan area Sikunir, tak
tanggung-tanggung untuk gas pooolll.
Kami menuju ke desa Sembungan, desa tertinggi di Jawa
Tengah. Ketinggiannya mencapai 2.306 mdpl. Berharap ada seseorang lewat untuk
sekedar bertanya dimana letak beskem yang kami cari. And the results was
nothing. I couldn’t see no one in that place. Kami pun bergegas keluar dari
desa, menuju.. ah kemana pun angin akan membawa pergi.
Ardha dan aku melaju dengan kencang, kemudian Lucky dan mba
Dwi yang dibelakang kami menyusul, menyalip aku yang berboncengan dengan Ardha.
Sebelumnya, Lucky sempat bilang kalau dia dibelakang aku dan Ardha. “Aku takut,
kamu yang depan yak!aku dibelakang kamu aja” katanya. Nah ini kok dia menyalip.
Mungkin berubah pikiran.
Ardha mengikuti Lucky belok disuatu jalan. Bukan jalur utama. Jalan itu
terdapat pipa-pipa besar dan pipa tersebut mengeluarkan asap. Lucky melaju
kencang sekali. Aku dan Ardha jalan biasa aja. Kami melewati pos satpam, aku
lihat tak ada orang. Namun lampu pos menyala. Barangkali satpamnya tidur,
batinku.
“dha, balik aja yuk! Menuju jalan utama” kataku.
“Lucky gimana, dia kenceng banget sampai ngga keliatan” kata
Ardha. Kami masih jalan pelan. Asap mendominasi jalan kami.
“Tunggu Lucky aja, nanti juga balik”
Sejujurnya aku takut. Perasaanku sudah tidak enak. Asap yang
keluar dari pipa besar itu menyeruak ke permukaan. Tak lama kemudian Lucky pun kembali, dia balik
arah. Aku dan Ardha yang tadinya jalan pelan, sekarang ikut balik arah. “kamu
yang duluan Dha” kata Lucky.
Well, aku lega akhirnya lucky balik arah dan kami menuju
jalan utama lagi. Menuju..... tak terbatas dan melampauinya.. lah dikira Buzz Lightyear di film Toy
Story. Pos satpam yang kami lewati tadi, pas kami lewat kan lampunya menyala,
pas kami balik melewati lagi, lampunya gelap. Hmm..
Kami pun berhenti
disebuah perkampungan. Dikarenakan gelap jad aku tidak bisa baca nama desa tersebut.
Kami berhenti disebuah mushola, kami hanya bisa duduk-duduk di teras. Pintu di
mushola tersebut dikunci, kami hanya bisa menggunkan teras yang tidak besar dan
hanya untuk duduk-duduk saja. Kami pun mulai mencari menggunakan GPS, karena
GPS alami (Gunakan Penduduk Sekitar) tidak mumpuni, akibat tidak adanya satu
orang pun untuk ditanyai dikarenakan belum menemukan satu orang pun yang lewat
sih. Sayang sekali, kita mencoba utak-atik GPS untuk mencari beskem Gunung Prau
dikawasan Dieng Plateau ini namun sinyal sangat minim di dataran tinggi ini.
oke, kami gave up!
Jam sudah
menunjukan pukul 02.00 am. Kami tidak menemukan satu pun beskem dipinggir jalan
yang kami cari. Kami tidak menemukan homestay yang buka, sepanjang perjalanan
tutup semua (mungkin efek tengah malam kali ya!) jadi, satu-satunya jalan
keluar yang harus ditempuh adalah... jeng..jeng... balik ke beskem pertama yang
kami temui.
Sampai beskem
pertama tadi kami disambut hangat oleh pemilik. Hujan pun mengguyur deras. Suasana
dingin menyelimuti. Kami diberi makan oleh sang pemilik beskem. Makanan setelah
acara “selametan” dibukanya beskem tersebut masih ada dan diberikan kepada
kami. Kami yang notabene emang kelaperan banget, lahap memakan itu tak lupa
segelas teh hangat untuk menghangatkan tubuh kami. Kami pun menceritakan
kejadian yang kami alami sepanjang perjalanan di kawasan Dieng Plateau. Sang pemilik
beskem pun kaget, seperti tidak percaya dengan apa yang kami ceritakan. Lalu
kami pun ikut ketakutan. What happened to us?
Lalu, pemilik
pun menyangkal rasa takut yang kami miliki. “alah sudah tidak usah dipikirkan,
mungkin emang tengah malam, nggak ada orang itu ya pada tidur, mungkin kalian
nggak menyadari beskem itu. Sudah lupakan saja. kalau mau naik dari sini saja,
nanti bareng sama empat pendaki itu”
Oke masalah
selesai. Terpecahkan. Jadi kami akan naik gunung dari jalur beskem ini.
rencananya mau naik jam 04.00am. kami pun memanfaatkan waktu untuk tidur
terlebih dahulu. Perjalanan malam ini menyita energi kami. We need to rest. Tapi
ngga bisa tidurrr. Dinginn. Padahal kami sudah menggunakan sleeping bag.
To be
continue....
Post a Comment
silahkan berkomentar sesuka hati disini..