Lanjutan kisah
sebelumnya!
Well, di
tengah udara yang lembab-lembab dingin menusuk kalbu hingga relung jiwa ini,
#halah. Kami membuka mata kami tepat pukul 04.00, karena kami berencana untuk
memulai trackingke Gunung Prau jam segitu. Namun, hujan deras mengguyur desa
ini. alhasil, tidak mau ambil resiko karena hujan yang begitu deras, kami
menunggu sampai reda. Apa daya, mata kami tak bisa diajak kompromi, kami pun
terlelap kembali. Menukik saking dinginya dibawah sleeping bag!
Pukul 05.30
matahari mulai menyingsing. Hujan pun reda meninggalkan bekas basah dijalanan. Rencana
untuk mengejar sunrise GAGAL. Noproblemo. Kami mah santai orangnya yak, banyak
jalan menuju roma. Kami pun memutuskan untuk wisata mengelilingi kawasan Dieng
Pletau. Kami pamit kepada pemilik basecamp, minta maaf sebesar-besarnya karena
telah merepotkan. Dan ketika kami ingin membalas budi dengan membayar, namun
ditolak. Padahal kami semalam disediakan makanan hlo, sang pemilik basecamp
memang super baik. Kami yang merasa tidak enak, sungguh merepotkan. Tapi tidak
apa-apa, semoga sang pemilik diberi kelancaran, kesuksesan dan kebahagiaan
tiada terkira karena telah meringankan beban mahasiswa yang penat akan skripsi
ini.
Pertama, kami
melewati gapura Dieng Plateau. Udara sungguh menyejukkan badan. Mandi ngga
mandi, gak masalah. Wakaka, mengingat airnya seperti es balok, dingin banget
aseli!
Destinasi pertama
kami adalah Telaga Warna. Pertama kali menapakkan kaki disini, hanya mata yang
sanggup mendeskripsikan keelokan ciptaan Tuhan yang luar biasa indahnya. Udara bersih,
pemandangan hijau pegunungan membentang dan telaga yang berwarna hijau tak ada
riak, hanya ketenangan yang ditimbulkan dari Telaga Warna tersebut. Menulis ini
membuatku ingin mengetahui sejarah kenapa bisa diberi nama Telaga Warna. Oke,
lets check out wikipedia!
feel the fresh air and erase the bad of feeling |
jalan setapak di Telaga Warna |
Hasil dari
pencarianku di wikipedia mengenai Telaga Warna ini adalah “Nama Telaga Warna sendiri diberikan karena keunikan fenomena
alam yang terjadi di tempat ini, yaitu warna air dari telaga tersebut yang
sering berubah-ubah. Terkadang telaga ini berwarna hijau dan kuning atau
berwarna warni seperti pelangi. Fenomena ini terjadi karena air telaga mengandung sulfur yang cukup tinggi, sehingga saat sinar Matahari mengenainya,
maka warna air telaga nampak berwarna warni.” (well, aku kesana pagi-pagi dan warna dari telaga itu
hanyalah hijau. Kurang tahu kalau siang hari)
Kami pun
berjalan menyusuri jalan setapak di telaga warna ini. Kami berjalan sampai ke
ujung. Kami pun melewati batu tulis yang didepannya terletak sebuah arca Gajah
Mada. Dilansir dari www.diengindonesia.com,
batu tulis ini juga disebut sebagai batu semar dikarenakan bentuknya seperti
wajah semar. “Terlepas dari semua
itu, tempat tersebut juga di anggap sebagai tempat meditasi oleh komunitas
kejawen dan masyarakat hindu pada jaman dulu sebagaimana di ceritakan dari
salah satu prasasti yang pernah di temukan di dieng yaitu prasasti Wadihati (
Musium Nasional Jakarta ). Ketika pada masa peradaban Hindu di Dieng juga sudah
di gunakan oleh para kawikuan sebagai tempat kegiatan Askestik.”
Arca Gajah Mada |
Batu Tulis or Batu Semar |
Setelah puas
menikmati panorama di Telaga Warna kami pun pindah tempat. Masih banyaak tempat
di Dieng yang harus di eksplore. So, tempat kedua yang kami kunjungi adalah Kawah
Sikidang!
Bau telur busuk,
eh bukan ding, maksud ku bau belerang menusuk hidung ketika kaki kami memasuki
wilayah wisata Kawah Sikadang. Sebelum sampai di kawah, kami harus melewati
penjual sayur-sayuran dipintu masuk. Lebih banyak sih jualan kentang, khasnya
adalah kentang merah.
No word can
describe what I saw in Kawah Sikidang! Fenomena alam yang luar biasa indah. Tadi
di telaga warna kami lihat yang hijau-hijau, sekarang di Kawah Sikidang yang
kami lihat adalah perpaduan pegunungan hijau dan struktur hamparan tanah
berwarna abu-abu.
Perjalanan selanjutnya
adalah Candi Arjuna. Keren! Pemandangan di Dieng ini sungguuuhhh keterlaluan
kerennya!
Capek foto-foto
di hamparan rerumputan hijau, kami melanjutkan perjalanan ke Dieng Pleteau
Teater. kami menonton film dokumenter tentang Dieng. Fil dokumenter itu
menjelaskan tentang sejarah, kondisi, geografis, budaya dan fenomena alam dan
membuatku terperangah. Selain menyajikan wisata alam yang indah, dieng pun
terdapat nilai budaya yang patut diacungi jempol, misalnya misteri tentang
rambut gimbal pada anak-anak di Dieng dan pada saat tertentu terdapat upacara
pemotongan rambut gimbal kemudian rambutnya akan dilarung ke sungai. Well,
masyarakat meyakini mitos rambut gimbal akan membawa rejeki dan kemakmuran di
Dieng.
Nonton film sudah,
terus apa lagi selanjutnya?? Sebab kami tidak mendapatkan Sunrise, so karena
hari sudah sore kami menginginkan Sunset! Dimana kami akan mendapatkannya?
Puncak Sikunir of course! Kami menuju kesana lagi, setelah malam sebelumnya
kami berkutat dengan yang gelap-gelap, tapi kali ini perjalanannya penuh warna
kok. Yaiyalah, terang!
Sampai parkiran
sikunir hanya ada kami saja,. kami positive thinking saja, mungkin wisatawan
sudah pada balik. Dan hanya ada dua warung yang buka. Oke, kami akan menuju
puncak Sikunir. Kami turun dari motor. Kami lihat kondisi diatas puncak. hmm..
berkabut tapi dikit. Masih aman lah. Tak beberapa saat, kabut tebal hadir menutup
puncak. kami yang masih di parkiran langsung cengo dengan munculnya kabut
tiba-tiba.
“yaudah deh kita
foto-foto saja di danau! Kabut tebel ih, ngeri” kataku. Dan rekan yang lain pun
mengiyakan. Pas kami mau menuju danau, kabut tebal langsung turun menyelimuti
danau hingga parkiran. Well, kami pun takut langsung bergegas meninggalkan
parkiran. Balik saja lah! Mungkin semesta tidak merestui kami untuk “hiking”
Gunung Prau maupun Puncak Sikunir.
Kami memutuskan
untuk pulang. Ditengah perjalanan ada gangguan pada motor yang aku bawa dengan
Ardha. Rem tiba-tiba blong. Kami pun berjalan pelan, mencari bengkel. Rem blong
ketika berada ditengah-tengah hamparan pegunungan, ekstra hati-hati karena
jalan naik turun.
Setelah menyelesaikan
rem motor,kami pun ingin mengabadikan diri kami di tulisan Dieng. Daaann,
betapa kagetnya kami karena basecamp yang kami cari semalam suntuk ada didepan
tulisan Dieng! What The~ padahal semalam pun kami lewat sini tidak ada apa-apa,
sepi-sepi saja. anyway, di basecamp itu banyak yang melakukan pendakian di
Gunung Prau. Banyak yang membawa keril dan muka pada lelah setelah “hiking”. Padahal, di basecamp kami bernaung semalam itu
hujan deras mengguyur.
Aneh tapi nyata.
Thats what happened when we were on Dieng. Tapi, semua itu menjadi pengalaman yang tak
terlupakan di benak kami. Setidaknya kami pulang membawa cerita yang..
memorable.
Sekitar pukul
21.00 kami sampai Tembalang dengan selamat. Tidak ada satu kehilangan apapun
dari kami. Masih utuh. Selama di Dieng aku tidak update sama sekali di sosial
media mengenai perjalananku ini. namun, di facebook tautan dari path ada status
yang muncul “saatnya pulanggg”. WTF. Siapa nih yang membajak? Aku menghubungi
Ardha, Lucky dan mba Dwi namun mereka tak satu pun ngutak-ngatik sosial media,
buka path atau facebook. Pertanyaanya, siapa yang bikin status? Aku pun engga. Dan
status itu ditulis pas banget jamnya
waktu kami pulang menuju Tembalang.
Keesokan harinya,
hujan deras terus mengguyur Tembalang. Kos
sepi hanya tersisa 4 orang saja. handphone tergelatak dikamar karena aku dan
teman-temanku di dapur untuk membuat olos, makanan khas tegal. Pas di kamar,
ngecek handphone, ada lagi status yang muncul “hujan, dingin, brr” who is that?
Siapa nih yang iseng???? I dont know~
Post a Comment
silahkan berkomentar sesuka hati disini..