Asap
knalpot bergerumul dari bis-bis yang berjejer di sepanjang bibir jalan sukun.
Ini adalah pengalaman pertama ku naik bis sendiri untuk menuju kota orang,
Magelang. Biasanya aku naik bis sendiri hanya sebatas semarang-jepara. namun
kali ini, aku keluar dari zona nyamanku untuk merasakan bagaimana rasanya naik
bis sendiri menuju kota magelang. Aku menggunakan bis ekonomi, karena bis
ekonomi harganya tidak menguras kantong. Beda dengan bis patas, harganya bisa 2
kali lipat. Sayang duit ah, toh tujuannya sama. Cuman yang membedakan adalah
fasilitas dan kenyamanan yang tersedia di bis.
Rencananya aku akan bertemu dengan
temanku yang dari Jogja di terminal Tidar, Magelang. Kami akan menaklukan
sebuah gunung di Magelang yakni gunung Andong yang lagi ngehits di instagram
itu looh. Teman-temanku dari Jogja mengendarai motor, karena jarak Jogja dan
Megelang tak cukup jauh sehingga naik motor pun dilakoni. Dan itu memudahkan
kami menuju basecamp di gunung andong, kalau naik kendaraan umum pasti ribet.
Di dalam bis ekonomi, suasana panas
cukup bikin badan gerah. Angin sepoi-sepoi muncul dibalik ventilasi ketika bis
melaju dengan kencang. Bila bis berhenti dikala macet karena perbaikan jalan,
jangan harap deh ada kesejukan ditengah terik siang yang menyengat. Panas dan
gerah berbaur jadi satu sehingga menciptakan peluh yang mengucur deras dibadan.
Apalagi dengan bawaanku cukup banyak, ransel yang berisi peralatan naik
gunungku (sleeping bag, logistik, minum, jaket, pakaian ganti) yang bikin tas
ku cukup menggembung dan tak lupa bawa helm, sehingga tempat dudukku terasa
penuh dan sesak.
Aku tidak duduk sendiri, ada pemuda
yang duduk disebelahku. Dia pun mengajakku berbicara untuk membunuh bosan
dikala perjalanan. dia banyak berceloteh kepadaku dan aku hanya mengangguk dan
mengiyakan saja. horror juga sih berbicara dengan orang asing, takut
kenapa-napa gitu. Banyak berita yang berseliweran tentang hipnotis ataupun
pencopetan yang terjadi di bis, nah dari itu aku berdoa kenceeng banget dalam
hati supaya terhindar dari perbuatan keji itu. Tetep waspada aja, tapi
untungnya pemuda yang duduk disebelahku tidak neko-neko, baik malah terkesan
polos. Orang desa yang belum terkontaminasi budaya barat. Terlihat dari
cerita-cerita yang terlontar dari mulutnya, serta logat yang sangat kental
sekali ngapaknya. Apalagi pertanyaan yang bikin alisku mengernyit, heran dan
bikin ngakak. “mba, sekolah dimana?” tanyanya, lalu aku jawab. “di undip mas”.
Terus dia nanya lagi, “ Undip itu sekolah biasa atau internasional?” aku
langsung terperangah dengan pertanyaannya. Dalam benakku, internasional
maksutnya apanih, bilingual atau apa.. lalu aku tanya “maksutnya mas?”. Kemudia
dian jawab lagi, “maksutnya undip itu sekolah negeri atau internasional?” ulangnya.
Laaadalaaaah... yang dimaksut internasional ini sekolah swasta. Baru paham aku.
Dan aku pun di hati kecil tertawa ngakak, ingin sekali ku keluarkan tawaku
sekencang-kencangnya tapi aku masih punya hati untuk menghargai setiap
ketidaktahuan orang. Hehe maafin..
Setelah sampai terminal Tidar, aku
pun menunggu jemputan dari teman-temanku dari Jogja. Aku tidak menunggu
sendiri, aku berkenalan dengan Bagas yang datang dari Bandung. Jauh-jauh dari
Bandung hanya untuk mencicipi panorama Andong. Bagas adalah temannya Lia,
temanku yang dari Jogja. Bagas datang ke Magelang menggunakan bis. Sembari
nunggu rombongan dari Jogja, aku dan Bagas mengisi perut di salah satu kedai di
Terminal. Kami banyak bercakap tentang pengalaman masing-masing.
Para rombongan dari joga pun datang
beriringan menggunakan motor. Kami pun berkenalan satu sama lain. Wisnu dan mba
Lia adalah yang baru aku temui. Sedangkan Lia dan Riska adalah teman SMA-ku.
Total yang akan berangkat naik ke Andong berjumlah 6 orang, termasuk aku dan Bagas.
Motor melaju di kota Magelang menuju
basecamp gunung andong. Kami menyusuri jalan sempat beberapa kali terhenti
karena kami buta arah dan bertanya ke beberapa orang. Panorama pegunungan
tersaji di sepanjang jalanan yang kami lewati. Sawah terasering yang hijau
ditengah musim kemarau ini membuat pandangan ku terasa adem dibuatnya. Gunung
merbabu menujulang dengan gagahnya memantau gerak laju kami. Hawa pegunungan
terasa sejuk dan bau pupuk kandang menyeruak disepanjang jalan.
Tibalah kami di desa Gligik tempat
basecamp andong bernaung. Kami memarkirkan motor di salah satu rumah warga.
Kemudian kami lanjut jalan menuju jalur pendakian andong yang sudah ada didepan
mata. Nampak gunung andong dengan ketinggian 1726mdpl. Gunungnya tidak terlalu
tinggi dan bentuknya lucu. Dari kejauhan sudah terlihat bentuk gunung andong
yang sisi kirinya bulat beda dengan gunung kebanyakan yang bentuknya menyerupai
segitiga.
Kami melewati rumah warga dan jalan
setapak yang berupa paving. Jalannya nanjak namun tidak terlalu berat. Kemudian
kami melewati hutan bambu. Sore kian menjelang, kami terus melangkahkan kaki.
Sampailah kami pada jalan setapak, pohon-pohon berjajar dan menjulang ke
angkasa. Jalan setapak ini berlapiskan debu tebal, sehingga menimbulkan
gumpalan asap ketika kaki menginjakan pada jalan setapak.
Jalannya masih berupa anak tangga.
gunung telomoyo melambai di depan mata kami. Kalau dibandingkan dengan gunung
andong, telomoyo lebih tinggi beberapa meter. Ciri khas dari telomoyo adalah
puncaknya terdiri dari pemancar-pemancar yang menjulang diketinggian. Gunungnya
tidak untuk kemping cantik, sebab tak ada lahan untuk mendirikan tenda disana. Aku
pernah kesana, dan untuk sampai puncak tidak harus jalan kaki, melainkan
menggunakan motor. Jalannya pun sudah diaspal.
Kami melanjutkan langkah kami di
tanjakan-tanjakan berikutnya. Sampai pada pos 1 kami duduk sejenak merehatkan
kaki yang sedari tadi menanjak. Kami duduk di kursi bambu yang sudah disediakan
oleh penduduk. Retinaku menangkap panorama cantik yang tersuguh dari ketinggian
yang belum seberapa ini. pemandangan dari sawah terasering yang menghijau
membuat lukisan alam ini teramat indah. Gunung telomoyo didepan kami sangat
cantik berdiri. Dan disisi kanan, gunung merbabu terlihat menjulang dan
menampilkan ketegasan yang tiada tara. Awan-awan meliukan dirinya di puncak
merbabu. warna keemasan terpancar dari tubuh merbabu menambah kecantikan gunung
tersebut, warna yang tercipta karena biasan dari matahari yang hampir jatuh ke
bumi.
Matahari mulai menurunkan keeksistensianya.
Langit yang sedaritadi terang benderang, kini berubah menjadi warna gradasi
antara oranye, ungu dan merah. senja menjadi background kami. Mengiringi jalan
kami yang terus menanjak tiada habisnya. Kami bertekad untuk menggapai puncak
sebelum matahari benar-benar menenggelamkan dirinya di bumi.
Hai Merbabu! |
Sesampainya di puncak, langit masih
bergradasi. Tidak perlu waktu lama untuk mendaki dari kaki gunung andong menuju
puncak. Kami menghabiskan waktu 2jam untuk pendakian ini. seharusnya bisa lebih
cepat, namun ada dua pemula dalam perjalanan ini sehingga perlu banyak-banyak
rehat karena lelah mendera. Dan yang sudah sering naik gunung tak mau egois
dengan meninggalkannya. Kami jalan terus beriringan sampai menuju puncak
bersama-sama.
Tak ada matahari yang terlihat.
Matahari sudah tenggelam bersama awan-awan yang bergerumul. Bayangan bulan
terlihat diatas puncak gunung andong. Kami pun bergegas mendirikan tenda.
Selama kami mendirikan tenda, warna langit sudah berubah menjadi gelap
seutuhnya. Bintang-bintang berkilau diangkasa raya. Lampu-lampu rumah dibawah
terlihat sama cantiknya seperti bintang diatas.
Dipuncak hanya kami yang mendirikan
tenda. Tak ada orang selain kami. Waw, its like a private mount to us! Kami
kemping pas weekdays jadi tidak terlalu ramai. Sebab, gunung andong ramai saat
weekend saja. dilihat dari postingan instagram yang terdapat tenda warna-warni
seperdi parade tenda saja. namun kali ini kami tak merasakan itu, sepi sekali.
Beberapa orang yang kami temui langsung turun ke bawah dan tidak nenda. Hanya
kami saat ini yang ada puncak. 6 orang saja cukup.
Angin kencang menelan kami diantara
diantara dingin yang mendera. Perlu usaha ekstra untuk memasang tenda dengan
angin yang berkibar-kibar dengan dahsyatnya. Tak ada pohon yang menghalangi
serangan angin. Jadi, wajar saja bahwa angin sangat keras menghantam tubuh
kami. Tak lupa pakai jaket karena pasukan dingin menusuk tubuh kami tanpa
pandang buluh.
Angin yang kencang menimbulkan
debu-debu tanah di sekitar puncak bertebaran dimana-mana. Muka kami sudah penuh
dengan debu yang menempel terbawa angin. Angin yang terus saja kencang membuat
kami memutuskan untuk memasak makan malam di dalam tenda. Kalau diluar tak
mumpuni untuk memasak, selain dingin agin kencang akan membabat api yang ada
dikompor.
Menu makan malam kami adalah mie
goreng sosis dan minuman susu dan lemon tea. Saat memasak di dalam tenda perlu
diperhatikan keselamatannya ya. Memasak kan berhubungan dengan api yang menyala
di kompor jadi kalau teledor api bisa membakar habis tenda dan seisinya. Jadi
perlu tingkat kehati-hatian yang tinggi. Serta resleting tenda dibuka sedikit
untuk jalan udara masuk karena ada api di dalam tenda.
Setelah perut terisi dengan penuh,
kenyang menyandera kami. Untuk memeriahkan malam ini, kami pun bermain
poker. Canda tawa pun menjadi penghangat
kebersamaan ini. cerita-cerita dan hinaan absurd merajai malam. suara angin
kencang yang menggesek tenda kami menimbulkan gemuruh keras.
Aku mendongakkan kepala keatas.
Mulutku tersenyum karena mendapati pemandangan yang sungguh indah. Ribuan
bintang di angkasa menjadi perhiasan malam yang sangat cantik. Kerlap-kerlip
memberi kesan mewah pada langit yang bermega ini. aku beradu dengan dingin dan
kegelapan malam. tak lupa buang air kecil yang sejak tadi di tahan. Kami pipis
di sembarang tempat, toh gelap. Tak ada pohon sebagai pelindung. Dan untungnya
yang saat ini di puncak hanya kami saja. sempat terbesit tanda tanya besar
padaku, andong kan luas dan tak ada satu pun pohon di puncak, nah ketika para
manusia berbondong-bondong mendaki dan kemping diatas puncak, tiba-tiba ada
hasrat ingin pipis, terus pipisnya dimana coba? Masa di tahan? Hmmm..
Kami merebahkan diri dalam tenda.
Suara angin bergemuruh terus saja menjadi nyanyian malam kami. Meninabobokan
kami yang sekujur badan terasa pegal-pegal. Aku tak bisa tidur. Dengan angin
yang terus meronta pada malam, aku merasa terganggu oleh suaranya. Mata ingin
sekali terpejam namun otak terus terjaga. Dingin menyelimuti tubuhku dengan
menembus sleepingbag.
Tengah malam diantara suara ribut
angin, ada rombongan pendaki tiba di puncak. senter-senter menyala melewati
tenda kami. Ah syukurlah kalau ada beberapa orang yang nenda, setidaknya tidak
hanya kami saja disini.
Pagi hari dingin masih menyelimuti
tubuh kami. Angin masih saja teriak namun tidak sekencang tadi malam. Bangun
tidur bukanya mendapati iler tapi debu-debu yang banyak menempel di wajah.
Hal yang paling aku suka ketika naik
gunung adalah mendapatkan sunrise dari atas ketingian. Dan aku mendapatkannya
dari gunung andong. Warna cantik dari langit menambah keindahan lukisan Sang
Maha Pencipta yang tak hanya bisa terlukis dari kata-kata. Mataku menangkap
lukisan alam ini dan menyimpannya dalam memori otak. Matahari menyingsing
dengan memancarkan pesonanya. Gunung merbabu terlihat megah akibat semburat
matahari yang memancarkan cahaya.
Bentuk
gunung andong sangat unik, ada 2 puncak yang dimiliki andong. Untuk berada di
puncak satunya lagi, kami harus melewati jalan setapak yang kanan dan kiri
langsung jurang. Jalan ini hanya muat satu orang saja. dari puncak tempat kami
berdiri, kami harus turun melewati jalan setapak kemudian kami menanjak dan
sampailah kami pada puncak yang satunya agi.
Kami
pun mengabadikan momen diatas puncak. tak lupa foto di depan papan yang
bertuliskan “peak andong 1726 mdpl” sebagai bukti bahwa kami telah sampai di
puncak gunung andong. Di puncak kedua ini, ada 2 bangunan yang terbuat dari
bambu. Bangunan ini digunakan untuk warung yang dijajakan oleh warga dibawah
kaki gunung andong. Namun, warung hanya beroperasi saat weekend saja. pada saat
weekdays seperti ini, warung lebih sering digunakan para pendaki yang istirahat
karena tak bawa tenda. Lumayan kan ada tempat bernaung, karena bangunan ini
semi tertutup jadi angin yang sangat kencang sedikitnya menembus bilik bambu
yang dilapisi plastik bening sebagai jalan masuk cahaya dikala siang.
Kami
sarapan di bawah matahari yang semakin terik. Terlihat jalan setapak yang kami
lewati saat menuju puncak kedua, sisi kanan dan kiri jalan tersebut terlihat
menghitam gosong akibat kebakaran hutan. Sayang sekali, coba saja kalau
hijau-hijau itu ada pasti cantik banget.
Menu
sarapan kami sangat istimewa yaitu nasi goreng tuna. Untuk pelepas dahaga dan
seret, kami menyediakan nutrisari, energen, milo dan kopi. Yay, tinggal pilih
saja. padahal di gunung tapi rasanya udah kayak di burjo aja~. Makan selesai
saatnya peking dan kembali ke basecamp. Rasa letih mendera kami namun tak ada
bandingnya dengan kebahagiaan yang menyelimuti jiwa kami. Rasa letih pun tak
dirasa karena panorama yang indah di gunung andong menutup segala rasa lelah.
Kalau
kemarin tanjakan yang kami hadapi, sekarang turunan.serem juga ya karena
turunan ini lebih curam dan dibawah terlihat jelas petakan-petakan sawah dan
jalanan yang meliuk-liuk serta genteng-genteng rumah pun terlihat jelas. Belum
lagi debu-debu disepanjang jalan yang tebal sehingga membuat kami konsentrasi
pada jalan supaya tidak terpelanting.
Perjalanan
kali ini sangat menyenangkan sekali. Aku bisa berkenalan dan mendapatkan teman
baru dari bandung dan jogja. Dan perjalanan kali ini banyak sekali makna yang
tersirat, dimana aku akhirnya berani melangkah sejauh ini sendiri keluar dari
zona nyamanku dengan menaiki bis ekonomi menuju tempat yang baru bagiku.
Post a Comment
silahkan berkomentar sesuka hati disini..